Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pertaruhan politik representatif


”Kedaulatan rakyat berarti pemerintahan rakyat, yang dilakukan oleh para pemimpin yang dipercaya oleh rakyat.” (Mohammad Hatta dalam ”Kedaulatan Rakyat, Pemerintahan Rakyat”) Tahun 2018 dan 2019 akan jadi titik kritis, tidak hanya bagi masa depan demokrasi, tetapi juga bagi imajinasi keindonesiaan. Gelombang pemilihan kali ini akan menempatkan bangsa Indonesia di persimpangan jalan, apakah akan memperkuat imajinasi kebangsaan melalui politik harapan atau memasuki era pertarungan politik antagonistik yang zero-sum game untuk memperebutkan kekuasaan belaka?

Pada 27 Juni 2018, pilkada serentak akan memilih 171 kepala daerah. Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih akan memutakhirkan data pemilih, tetapi data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) menunjukkan angka sekitar 160 juta orang berpotensi menggunakan hak suaranya. Masih di 2018, akan ada dua tahapan penting Pemilu 2019: pendaftaran calon anggota legislatif pada Juli 2018 serta pendaftaran calon presiden dan wakil presiden pada Agustus 2018. Pemilu serentak DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta presiden dan wapres akan berlangsung pada 17 April 2019.

Sebagai sebuah proses demokrasi, pemilu di Indonesia menghabiskan biaya tidak sedikit. Tiga gelombang pilkada, yakni 2015, 2017, dan 2018, diperkirakan menghabiskan sekitar Rp 26 triliun. Sementara Pemilu 2019 diproyeksikan menghabiskan dana Rp 16 triliun-Rp 19 triliun. Dari aspek prosedur elektoral, Indonesia sudah menjalankan pemilu yang relatif bersih dan adil. Hal ini terlihat dari berbagai pengakuan lembaga di dalam dan luar negeri atas proses dan transparansi proses pemilihan. Dengan tren ini, pada tahun 2018 dan 2019 boleh jadi aspek ini tidak akan banyak bermasalah.

Namun, tantangannya ialah apakah hal itu juga diikuti dengan primanya aspek demokrasi substansial. Salah satu hal penting ialah apakah kontestasi antarkandidat berlangsung dalam konteks agonistik? Politik agonistik mensyaratkan pertarungan gagasan dan ide yang saling membangun, saling memperkuat, karena berlangsung di antara ”lawan”. Ini berkebalikan dengan politik antagonistik yang bersifat habis-habisan alias zero-sum game. Pihak lain dianggap ”musuh” yang harus dikalahkan, tidak jarang dengan cara apa pun karena persaingan dilihat secara biner; saya menang dan kamu kalah, atau sebaliknya.

Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019 akan menyita perhatian dunia internasional. Hal ini sebagai implikasi dari menguatnya politik identitas pada saat pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tahun 2017. Saat itu, pilkada berlangsung secara antagonistik. Alih-alih meluruh, fragmentasi itu saat ini masih terus ”terjaga”. Pembelahan identitas kelompok; ”kami” dan ”kamu”, masih terasa begitu kental di berbagai forum, baik di dunia dalam jaringan (daring) maupun luar jaringan (luring). Pembelahan ini masih berpotensi berlangsung pada tahun 2018 dan tahun 2019. Bumbu untuk menuju pertarungan politik identitas masih ada, tinggal melihat apakah aktor-aktor politik akan menggunakannya atau tidak.

Kontrak politik
Idealnya, pemilu jadi ajang membuat atau memperbarui kontrak politik di antara dua pihak. Di satu pihak masyarakat yang punya hak pilih dan punya ”harapan” yang hendak dititipkan ke kandidat dan di pihak lain ialah kandidat yang menawarkan program yang bisa memenuhi harapan rakyat. Kandidat yang dipilih mendapatkan mandat untuk menjalankan pemerintahan atas nama rakyat yang memilihnya. Selama lima tahun, kandidat terpilih bekerja untuk merepresentasikan kemauan rakyat. Jika ia tak lagi dianggap layak, akan dihukum lima tahun berikutnya oleh rakyat dengan tidak dipilih kembali.

Hanya saja, apabila keseimbangan itu sudah dimasuki oleh variabel ”intervensi”, semacam politik uang, intimidasi, atau politik identitas serta populisme, sulit mencapai logika perwakilan itu. Maka, untuk mewujudkan gambaran ideal ini dibutuhkan kedewasaan berpolitik dari masyarakat; pemilih dan kandidat.

Mohammad Hatta dalam Kedaulatan Rakyat, Pemerintahan Rakyat menyebut hal itu sebagai ”keinsafan politik”. Partai politiklah yang punya tanggung jawab untuk memberi pendidikan politik bagi rakyat. Ini karena, menurut Hatta, rakyat yang tak punya keinsafan politik bisa dengan mudah dibohongi oleh slogan-slogan kandidat. Selain itu, rakyat yang tak punya keinsafan politik mudah gelisah.

Warga yang melek politik memang menjadi kebutuhan mendasar dalam demokrasi yang menjunjung prinsip satu orang, satu suara, satu nilai. Pemilih idealnya punya dua sikap. Pertama, mendukung dan mengawasi kandidat pilihannya yang menang sehingga kandidat itu bisa menjalankan amanahnya untuk memenuhi harapan warga. Kedua, legawa, berbesar hati jika kandidatnya kalah, tetapi tetap mengawasi secara kritis agar kandidat yang menang bisa bekerja maksimal bagi semua orang, bukan hanya bagi pemilihnya. Hal itu berarti berani menjewer politisi saat melenceng dari janjinya, tetapi juga mendukung saat apa yang dilakukannya bertujuan untuk mewujudkan hal baik.

Hanya saja, memang hal ini lebih mudah diucapkan dan indah didengar ketimbang dijalankan. Negara yang demokrasinya lebih ”tua” daripada Indonesia, seperti Amerika Serikat, juga menghadapi persoalan pembelahan politik. Pada masa pemerintahan Presiden Barack Obama, misalnya, kubu kontra selalu menganggap pemerintahan Obama selalu salah. Bahkan, yang lebih parah, berusaha menghalang-halangi agar pemerintah tak bisa bekerja prima sehingga bisa ditumbangkan pada pemilihan berikutnya. Implikasi pembelahan politik yang tajam membuat konsensus tak tercapai dalam pembahasan anggaran pada tahun 2013. Akibatnya, AS sempat menghadapi penghentian pemerintahan federal selama dua pekan.

Representasi politik
Memang tak mudah mewujudkan masyarakat yang kritis, tetapi tetap berpandangan terbuka demi menjaga imajinasi bangsa. Salah satu tantangan terbesarnya ialah defisit representasi. Politisi yang dipilih masyarakat untuk menduduki jabatan-jabatan publik belum banyak yang menjalankan fungsi representasinya. Pada akhirnya menimbulkan kekecewaan.

Merebaknya korupsi di DPR menjadi salah satu indikatornya. Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat, dari total 670 tersangka kasus korupsi yang ditangani komisi itu sejak 2004 hingga akhir 2017, sebanyak 134 tersangka berlatar belakang anggota legislatif di pusat dan daerah. Korupsi berarti wakil rakyat bekerja untuk diri sendiri atau kelompoknya, bukan representasi kepentingan rakyat. Selain itu, sikap legislatif juga tak jarang bertentangan dengan kehendak rakyat. Misalnya, berbagai gelombang upaya DPR untuk merevisi UU KPK yang diduga akan melemahkan KPK. Belum lagi kinerja legislasi yang tak memenuhi target.

Sepanjang 2017, sejumlah kepala daerah juga harus diproses hukum. Bahkan, hanya dalam dua bulan, yaitu pada Agustus hingga September 20117, empat kepala daerah harus diproses hukum karena diduga korupsi. Mereka adalah wali kota Tegal (Jawa Tengah), wali kota Batu dan bupati Pamekasan (Jawa Timur), serta bupati Batu Bara (Sumatera Utara).

Sejumlah alasan sering disampaikan terkait penyebab korupsi ini, seperti tingginya biaya politik. Hal itu sering kali dikaitkan dengan pilkada dan pemilu yang digelar secara langsung. Calon terpilih adalah mereka yang memperoleh suara terbanyak dari pemilih.

Namun, upaya untuk mengurangi biaya politik ini terkesan kurang serius dilakukan. Saat pembahasan RUU Pemilu, misalnya, waktu dan energi lebih banyak dihabiskan untuk membahas masalah praktis-politis, seperti syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, ambang batas parlemen, serta jumlah kursi setiap daerah pemilihan.

Sebaliknya, persoalan seperti bagaimana membangun sistem kaderisasi dan transparansi keuangan di internal parpol relatif kurang mendapat perhatian. Padahal, hal itu akhirnya tak hanya dapat mengurangi biaya politik, tetapi juga akan meningkatkan kualitas parpol dan kepercayaan kepada politisi.

Kondisi itu menjadi penting karena Olle Törnquist dkk dalam Penyebab Kemandekan dan Jalan Menuju Demokratisasi 2.0 yang diterbitkan Jurnal Prisma (2017) menyebutkan, demokrasi Indonesia yang sempat dipuji karena pada awal reformasi berkembang pesat, sejak beberapa tahun terakhir mengalami stagnasi. Penelitiannya menunjukkan mandeknya kualitas lembaga-lembaga penting yang menangani urusan kewarganegaraan, hukum, serta tata kelola pemerintahan dan perwakilan. Kepercayaan terhadap sistem hukum dan parpol mapan dan politikus juga sangat lemah.

Kekecewaan terhadap kondisi ini bisa membuat warga rentan terbujuk mendukung calon-calon populis yang membelah masyarakat; yakni antara orang baik yang berhadapan dengan elite korup. Calon populis ini juga tidak sungkan menggunakan isu politik identitas untuk meraih kekuasaan.
Jika hal ini muncul pada Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, jalinan imajinasi kebangsaan yang berdasar pada persamaan sejarah, keinginan untuk hidup bersama, dan tujuan bersama bisa terkoyak-koyak dengan diskursus ”kamu” dan ”kami”. Imajinasi kebangsaan yang rusak pada akhirnya akan membuat titik pijak bersama sebagai bangsa akan rapuh.

Jadi, pada jalan yang mana bangsa kita akan berada tahun-tahun mendatang? Jawabannya ada di pilihan kita….
(Antony Lee/Agnes Theodora/A Ponco Anggoro)

Post a Comment for "Pertaruhan politik representatif "